Lazada Indonesia

Tuesday, January 11, 2011

Budidaya Lele Organik

Mendengar nama lele disebut, yang teringat pasti pecel lele. Saat ini, penjual pecel lele cukup banyak, bahkan sajian dengan menu lele kian beragam. Karena itu, budidaya lele pun masih berprospek cerah. Apalagi bila ada embel-embel organik.

Teletong alias kotoran sapi rupanya tak hanya bermanfaat untuk pupuk organik. Di Banyuwangi, Jawa Timur, kotoran sapi saat ini juga populer untuk budidaya lele organik. Tak perlu beli pakan, hasil panen ternyata lebih gurih.

Abdul Kohar, 48, salah satu petani Banyuwangi yang ikut mengembangkan budidaya lele organik mengatakan bahwa konsep budidaya lele organik mengadopsi pola hidup lele di alam bebas, dimana media hidup dan pakannya berasal dari bahan organik.

Di belakang rumahnya, Jalan Temuguruh, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, ia membikin 12 kolam berukuran masing-maisng 3,5 meter x 4 meter untuk membudidayakan lele organik sejak masih benih hingga siap konsumsi.

Menurutnya, berbeda dengan budidaya lele nonorganik, biasanya dilakukan tanpa perlakuan khusus dengan pakannya berasal dari pabrikan (pelet). Hasilnya tentu saja berbeda. Ukuran lele organik ternyata lebih panjang, antara 25-30 centimeter dibandingkan lele biasa. Warna lele organik kemerah-merahan, terutama di bagin sirip dan insang. "Lele biasa warnanya sedikit lebih hitam," terang Abdul Kohar.

Lele organik juga lebih menonjol dalam hal rasa. Tekstur daging lebih kesat, kenyal, dan gurih, hampir menyamai rasa lele yang hidup di alam bebas. "Dan tentunya, lebih sehat," tegas petani lulusan Teknik Nuklir, Universitas Gajah Mada ini.

Membudidayakan lele organik memang membutuhkan keuletan tersendiri. Sebabnya, kata dia, setidaknya terdapat empat tahapan yang harus dilakukan. Tahap pertama, adalah penebaran benih lele pada kolam berisi air dan kotoran sapi yang telah dikomposing selama satu bulan. Kotoran sapi tersebut ditempatkan dalam tiga karung goni tertutup.

Kohar biasa menebar 21 ribu benih yang dibelinya dari daerah sekitar seharga Rp 25 per benih. Bila benih berusia dua minggu, kemudian dilakukan seleksi untuk benih yang berukuran 4-5 milimeter. Benih tersebut dipisahkan di kolam berikutnya selama dua minggu hingga benih berdiameter 10 milimeter. Dua minggu berikutnya, lele diseleksi untuk yang berukuran 20 milimeter.

Sejak benih lele berdiameter 10 milimeter itu, kolam yang berisi air dicampur langsung dengan pupuk organik dari kotoran sapi hingga setinggi 20 centimeter. Dari cara ini, kotoran sapi akan menghasilkan banyak plankton yang menjadi makanan utama lele.

Lele organik, baru siap dipanen saat usianya delapan minggu. Kohar menceritakan, setiap kali panen ia bisa menghasilkan enam kuintal lele, dengan harga Rp 9 ribu perkilogramnya, sehingga total omzetnya mencapai Rp 5,4 juta sekali panen. Meski pasarnya masih seputar Banyuwangi, namun menurut dia, budidaya lele organik hemat biaya hingga 40 persen. Sebab ia tak perlu lagi membeli pakan pabrikan.

Keuntungan lainnya, air di dalam kolam lele tidak menghasilkan bau busuk seperti halnya lele non organik. Sehingga ia tak perlu repot mengganti air dalam kolam. "Menghemat biaya dan tenaga," kata ayah enam anak ini. Di tangan Kohar pula, sisa air dalam kolam lele ternyata masih bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman padinya seluas satu hektar.

Kohar sebenarnya sudah akrab dengan pupuk organik sejak tahun 2005 lalu. Ia juga tercatat sebagai salah satu petani yang konsisten memakai pupuk organik untuk tanaman padinya. Sebelum membudidayakan lele organik empat bulan lalu, kotoran ternak sapinya yang berjumlah enam ekor langsung dimanfaatkan untuk tanaman padi.

Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S Sirtanio) Samanhudi mengatakan, budidaya lele organik di Banyuwangi masih dikembangkan oleh enam petani. Pasarnya juga masih terbatas di Banyuwangi.

Menurut dia, hal itu disebabkan karena budidaya lele organik masih tergolong baru sehingga belum populer di masyarakat. Lele, kata dia, masih menjadi makanan favorit di masyarakat. Namun kebanyakan yang beredar, mengandung residu akibat pemakaian bahan kimia yang tinggi. "Berbeda, kalau organik sudah bebas zat kimia," terangnya.

Sementara ditilik dari segi gizi, kata dia, lele organik tingkat kolestorelnya lebih rendah karena mengandung asam lemak tak jenuh.



Masih Berpeluang

Pakar budidaya perairan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Odang Carman mengatakan, usaha budidaya ikan lele masih prospektif untuk dikembangkan. Peluang usaha budidaya ikan lele masih sangat baik, karena itu usaha tersebut masih cocok dikembangkan masyarakat, katanya. "Prospek usaha budidaya ikan lele masih prospektif, karena permintaan pasarnya masih tinggi," tambahnya.

Terkait pasar kebutuhan ikan lele di wilayah Jabodetabek saja jumlahnya lebih kurang 70 ton per hari, sedangkan untuk wilayah Bogor kebutuhan terhadap ikan lele sekitar 40 ton per hari."Hal ini merupakan peluang pasar yang sangat baik untuk membudidayakan ikan lele," katanya.

Budidaya ikan lele harus memperhatikan banyak faktor dan secara biologis lele memiliki kelebihan dengan memiliki alat nafas tambahan, sehingga walaupun kurang oksigen lele mampu bertahan hidup walaupun berada di ruang-ruang sempit.

Dalam satu hektar bisa menghasilkan 300 ton ikan dan untuk luasan tanah sekitar 200 m dapat panen sekitar dua hingga tiga ton. Odang menambahkan, komponen utama dalam pembudidayaan ikan lele adalah medianya, misalnya airnya harus bagus, memenuhi kebutuhan derajat keasaman (ph) serta ada oksigen.

Selain itu pembudidaya harus mengetahui ilmunya minimal ilmu dasar misalnya bagaimana memberi pakan yang baik, karena budi daya ikan lele harus memperhatikan pakan dan diberikan secara optimal, katanya. (surabayapost.co.id)

No comments:

Post a Comment